Menurut Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Banyak orangtua yang masih beranggapan, bahwa sekolah yang baik akan merubah watak anaknya, terutama untuk membentuk anak yang berakhlak mulia sebagaimana harapan yang terkandung dalam Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena peran mendidik anak tidak dapat sepenuhnya diserahkan dan digantikan oleh sekolah. Peran orangtua atau keluarga memegang peran utama dalam pembentukan kepribadian dan akhlak mulia.anak-anaknya.
Peran orangtua dalam membentuk karakter anak tentunya lebih dominan dibandingkan sekolah, karena pendidikan pertama anak dan kehidupan anak ada dalam keluarga, sedangkan di sekolah hanya sedikit. Peran sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan karakter yang telah tumbuh dan berkembang di rumah atau keluarga melalui pembiasaan yang diharapkan memperkuat karakter baik yang sudah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan di keluarganya.
Berdasarkan pengamatan dari perilaku siswa di sekolah, ada beberapa hal yang mengakibatkan anak bersifat negatif antara lain : Pertama. Siswa sering bertengkar, marah– marah, dan berkata kasar. Bertengkar sebenarnya terdidik dalam keluarga yang sudah menjadi konsumsi kebiasaan (habit) di rumah. Bertengkar erat hubungannya dengan rasa toleransi yang sangat kurang atau kecerdasan emosional yang sangat rendah. Dalam konten rasa sabar yang sangat minim. Sifat marah timbul karena akumulasi dari sesuatu perbuatan yang kurang memuaskan hati dan dibarengi perbuatan lainnya, yakni berkata kasar atau gerakan fisik lainnya yang menyertai marah tersebut.
Perbuatan marah kemungkinan besar timbul dari perbuatan yang dicontohkan kedua orangtuanya. Melalui contoh yang dapat diamati, siswa secara ototmatis akan mengikuti apa yang sudah diperagakan oleh orangtuanya. Seharusnya sebagai orangtua hendaknya merubah tingkah laku yang sudah ada selama ini menjadi yang lebih baik, bukan menurunkan kepada anaknya. Sebagian besar berpendapat, bahwa berkata kasar banyak dijumpai pada siswa yang orangtuanya tidak cukup mengenyam pendidikan formal.
Kedua. Siswa malas untuk beribadah. Siswa rajin melaksanakan ibadah ketika berada di sekolah. Sepulang dari sekolah siswa kembali ke perilaku semula. Orangtua yang mendambakan anak yang berakhlak mulia akan kecewa dengan perilaku ini. Kebiasaan orangtua yang malas beribadah dapat membuat anaknya untuk tidak taat pula beribadah.
Panutan bagi anak– anak untuk berbuat baik dari orangtuanya, bahkan sebagian besar anak bercita- cita ingin seperti orangtuanya, minimal tingkah laku mereka Pendek kata, bahwa ayah bagi seorang anak laki-laki adalah role model, sedangkan bagi anak perempuan ayah adalah “first love” mereka
Ketiga. Tingkah laku anak yang jauh dari harapan orangtua. Semua orangtua menginginkan tingkah laku yang membanggakan orangtua mereka. Namun, dengan hanya mencukupi kebutuhan lahirnya saja tanpa memelihara serta mendidik perilakunya, maka orangtua hanya memetik hasil yang tidak seperti yang mereka harapkan.
Orangtua terbiasa memanjakan anak-anaknya dengan nilai materiil, namun tidak pernah mengajarkan untuk bersyukur, peduli terhadap sesama, membantu yang miskin. Sifat orangtua seperti ini menjadikan anak materialistis yang mendekatkan diri kearah kesombongan dan kekufuran.
Dengan siapa anak itu mempengaruhinya maka anak itu akan mengadopsinya tanpa ada yang mengarahkan ke arah yang baik. Tidak heran bila anak ingin mencukupi kebutuhannya dengan cara mengambil hak orang lain tanpa ada yang mengingatkan atau mengarahkan maka tingkah laku tersebut akan berkembang. Satu rahasia kecil, para ulama dan orang bijak terdahulu jika mendapati anaknya berbuat kurang baik, berkata tidak jujur, dan sulit diatur, maka mereka pertama- tama akan menyalahkan pada diri mereka sendiri, bahkan menghukum diri mereka sendiri, bukan dari anak yang belum memahami alur kehidupan yang harus dihukum.
Dengan demikian, maka ada beberapa pertanyaan bagi diri kita sebagai orangtua. Mengapa anak-anak saya dapat berbuat seperti ini? Apakah saya telah berbuat dosa? Apakah ada makanan haram yang saya berikan untuk anak-anak saya? Semua pertanyaan tersebut, tentunya jawabannya ada pada diri kita sendiri. Oleh sebab itu, marilah kita memulai membentuk perilaku siswa dari pendidikan keluarga di rumah, sedangkan untuk memolesnya menjadi mengkilat kita serahkan pada lingkungan yang menyertainya, salah satunya sekolah.
Mari kita sebagai orangtua belajar menjadi guru kehidupan bagi anak-anak kita. Guru yang akan terus dikenang “baik dan buruknya” oleh anak-anak kita. Guru yang tidak hanya mengantarkan anak-anak ke gerbang wisuda, tapi lebih jauh mengantarkan mereka masuk ke gerbang surga.
Mari kita berdoa untuk kebaikan anak-anak kita, dan kita juga terus bermohon agar Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjadi orangtua yang baik, yang menjadi uswatun hasanah buat putra-putri kita, investasi dunia akhirat kita. Semoga Allah ijabah….
Editor-Maslani

